Cara menghadapi suami yang kasar
Suami memiliki sifat kasar harus bisa disikapi dengan cara tegas. Tips untuk menghadapi suami kasar antara lain:
Jika kamu merasa bahwa suami tidak dapat lagi diajak diskusi dengan baik dan dia tidak membantu mempertahankan rumah tangga, maka mungkin bercerai bisa menjadi solusinya.
Namun jika suami masih ada keinginan untuk memperbaiki diri, maka bantuan dari konseling pernikahan atau konseling keluarga dapat menjadi cara untuk menemukan solusi yang lebih baik.
Memang tidak mudah menghadapi suami yang egois dan haruskah bertahan dengan suami yang kasar. Kenali sejauh apa kemampuan kamu dalam menghadapi suami. Berikan waktu kepada dirimu sendiri untuk mengevaluasi hubungan rumah tangga.
Haruskah bertahan dengan suami yang kasar
Suami yang melakukan kekerasan dan bersifat kasar memang menjadikan istri tidak tahan dan ingin memutuskan hubungan.
Lalu apakah suami dapat berubah sikap? Mengubah sikap seseorang tidak mudah dan itu keinginan berubah itu harus ada dalam dirinya.
Suami yang ingin melakukan perubahan sifat dan mencoba mempertahankan hubungan dapat diketahui dari ciri ciri berikut:
Sifat kasar dalam hubungan
Sifat kasar dalam suatu hubungan bisa memperkeruh rumah tangga. Sifat kasar dapat membuka gerbang kekerasan dalam rumah tangga.
Jika suami memiliki sifat kasar, maka istri harus bisa menyikapinya agar dapat menghadapi sikap suami yang seperti ini.
Sifat kasar merupakan salah satu jenis kekerasan. Kekerasan tidak hanya melibatkan fisik, namun juga perlakuan lainnya seperti hinaan, ejekan, dan kata-kata kasar. Tindakan ini termasuk dalam kekerasan dalam bentuk verbal.
Kamu harus tahu bagaimana ciri ciri dari suami yang kasar sehingga dapat memutuskan haruskah bertahan dengan suami yang kasar atau mencoba terus bersabar dengan sikapnya.
Menerima konsekuensi perbuatan
Menerima konsekuensi terhadap sifat kekerasan atau kasar yang pernah dilakukan baik itu dari keluarga atau lingkungan sekitar.
Ciri ciri suami yang kasar
Apapun alasannya, istri tidak perlu mendapatkan kekerasan baik verbal dan fisik dari suami. Kenali suami dengan sifat kasar agar dapat segera dilakukan tindakan:
Sifat suami yang suka berkata kasar tentu sebuah ancaman bagi keharmonisan rumah tangga.
Tentunya jika suami melakukan tindakan yang lebih buruk seperti kekerasan fisik, pelecehan dan sebagainya, kamu harus segera meminta bantuan orang lain, ya.
Tindakan ini menjadi hal yang membingungkan bagi istri dan terus bertanya haruskah bertahan dengan suami yang kasar.
Pertengkaran adalah hal yang lumrah terjadi pada sebuah pernikahan. Namun, bila suami suka berkata kasar tiap kali bertengkar, tentu hal tersebut bisa membuatmu sakit hati dan makin memperkeruh keadaan. Lantas, bagaimana cara menghadapi suami yang suka berkata kasar?
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak selalu melibatkan fisik saja. Kamu perlu tahu bahwa perkataan kasar, hinaan, dan ejekan yang diucapkan oleh pasangan juga bisa tergolong KDRT, lho, tetapi dalam bentuk verbal.
Tips Menghadapi Suami yang Suka Berkata Kasar
Apa pun alasannya, melontarkan kata-kata kasar kepada istri tidak dibenarkan dan bukan perilaku yang baik bagi seorang pemimpin keluarga. Bila hal ini terjadi 1–2 kali dalam rumah tanggamu, mungkin kamu bisa menganggapnya sebagai sebuah kekhilafan.
Akan tetapi, jika selalu terjadi setiap kali ada masalah, bahkan pada masalah yang sepele sekalipun, kamu perlu bertindak agar ia bisa berubah dan tidak mengulangi kesalahannya lagi.
Berikut ini adalah beberapa tips menghadapi suami yang suka berkata kasar:
Pertama-tama, mengertilah bahwa ledakan emosi dan kata-kata kasar yang keluar dari mulut seseorang kebanyakan berasal dari luka di masa lalu. Jadi, saat ia mulai berkata kasar, usahakan untuk tetap tenang dan tidak tersulut emosi atau terlihat marah.
Berikan sugesti positif pada pikiranmu sendiri. Lihatlah kemarahannya dari sudut pandang lain dan cobalah pahami kira-kira hal apa yang membuka luka masa lalu dan menyulut kemarahannya.
Walau sakit hati dengan apa yang ia katakan, kamu harus berbesar hati untuk tidak membalas perkataan kasarnya, ya. Memaki balik tidak akan menyelesaikan masalah, malah justru bisa memperburuk keadaan. Bahkan, bukan tidak mungkin suami bisa melakukan kekerasan fisik karena tersulut perkataanmu.
Di dalam hubungan pernikahan, tidak ada yang kalah atau menang. Jadi, mengalah bukan berarti kalah. Dalam situasi panas ini, kamu harus bisa menjadi pendingin keadaan dengan tidak memakinya balik.
Lagi pula, bicara balik dengan seseorang yang sedang marah biasanya akan percuma. Oleh karena itu, mengalahlah sebentar sampai amarah suami mereda, baru ajak ia bicara dari hati ke hati.
Setelah kegusarannya mereda, cobalah pancing ia untuk menceritakan alasan kemarahannya dan dengarkan ia dengan rasa empati. Ulangi apa yang ia katakan sebagai konfirmasi agar ia benar-benar merasa didengarkan.
Kalau kira-kira sudah bisa diajak berdiskusi, mulailah nyatakan pendapatmu dengan kepala dingin. Katakan bahwa yang ia lakukan itu tidak baik dan menyakitkan hatimu. Ingatkan bahwa apa yang ia lakukan bisa saja berdampak buruk dan ditiru oleh anak. Namun, gunakanlah kata-kata yang sopan dan tidak menyudutkannya.
Bila ia menyalahkanmu dan kamu memang mengakui kesalahanmu, jangan ragu untuk meminta maaf padanya. Kamu juga bisa mencium atau memeluknya untuk memperbaiki suasana hatinya yang buruk.
Jika semua usahamu untuk mendengarkan, berdiskusi baik-baik, dan meluluhkan hatinya tidak juga menghilangkan amarah dan kata-kata kasarnya, ada baiknya berikan ia waktu untuk sendiri.
Terlalu lama mendengar perkataan kasar suami tentu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mentalmu. Jadi, kamu boleh, kok, pergi sebentar agar ia bisa berpikir jernih dan menyadari kesalahannya.
Jika ia benar-benar mencintaimu dan anakmu, serta ingin mempertahankan pernikahan kalian, tentu ia akan berusaha untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Sebagai istri, kamu juga perlu tahu bahwa ada beberapa penyebab mengapa suami bisa marah besar dan berkata kasar kepada istri. Salah satunya adalah trauma emosional yang terpendam. Selain itu, tingkat stres yang tinggi dan masalah kesehatan mental, seperti depresi, juga bisa menyebabkan hal ini.
Bila tips-tips di atas sudah dilakukan tapi suami tetap sering berkata kasar saat marah, ajaklah suami untuk melakukan konseling pernikahan atau berkonsultasi ke psikolog agar akar masalah dari kebiasaan berkata kasar ini bisa ditemukan dan diatasi.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kami turut prihatin terhadap masalah yang sedang Anda hadapi. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Pada dasarnya, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri sebagaimana dikatakan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Apa saja alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian itu?
Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Anda tidak menyebutkan agama apa yang Anda dan suami anut. Selain alasan-alasan tersebut, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatur dua alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU Perkawinan yaitu:
1. Suami melanggar taklik talak;
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Jika dilihat dari alasan-alasan perceraian di atas, sebenarnya perilaku suami Anda yang kerap bersikap kasar dengan “main tangan” itu belum termasuk alasan yang cukup untuk dilakukannya perceraian, kecuali sikap kasar tersebut dilakukan dalam wujud kekejaman atau penganiayaan berat sehingga membahayakan Anda sebagai istri.
Dengan alasan itu, Anda dapat menggugat cerai suami Anda. Mengenai ke mana gugatan cerai dapat diajukan, Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 7/1989”) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 (“UU 50/2009”) jo. Pasal 132 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) menyebutkan:
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.”
Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU 7/1989 jo. Pasal 142 ayat (1) KHI memang pengajuan gugatan perceraian dapat dikuasakan. Namun, untuk sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU 7/1989 bahwa:
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Mengacu pada ketentuan di atas, maka gugatan cerai dapat Anda layangkan ke pengadilan di tempat kediaman Anda sebagai penggugat. Lalu bagaimana jika suami Anda tidak setuju diceraikan oleh Anda? Dalam hal ini, hakimlah nantinya yang akan menentukan apakah akan mengabulkan gugatan cerai Anda atau tidak.
Jika suami karena tidak setuju diceraikan oleh Anda, lalu ia tidak datang menghadiri persidangan (sebagai tergugat) dan juga tidak diwakili oleh kuasanya, maka berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44) hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.
Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Apabila tergugat tidak mengajukan upaya banding terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Putusan Verstek dan Sidang Perceraian Tanpa Dihadiri Pihak Suami.
Apabila putusan verstek tersebut tidak diupayakan banding terhadapnya, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan berkekuatan hukum tetap ini dapat Anda simak dalam artikel Kapan Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap?
Contoh kasus serupa dengan pertanyaan Anda ini dapat kita temui dalam artikel Bercerai karena Suami Bersetubuh dengan Hewan. Dalam artikel tersebut diketahui bahwa suami selaku tergugat tidak pernah hadir selama persidangan berlangsung. Putusan hakim akhirnya dibuat secara verstek (tanpa kehadiran tergugat). Bunyi amar putusan tersebut adalah “Mengabulkan gugatan penggugat secara verstek”.
Menjawab pertanyaan Anda, apabila memang upaya perdamaian telah dilakukan dengan suami Anda namun tidak berhasil, maka langkah yang dapat Anda lakukan adalah Anda tetap bisa mengajukan gugatan cerai kepada suami Anda meskipun ia tidak menyetujuinya. Hakimlah yang akan memanggilnya secara patut untuk hadir di persidangan. Apabila ia juga tidak hadir dan tidak diwakili oleh kuasanya, maka persidangan tetap berjalan dengan dijatuhkan putusan verstek.
Namun bagaimanapun juga, menurut hemat kami, perceraian haruslah sebaik mungkin dihindari. Kami berharap Anda dapat menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan tanpa harus melalui jalan perceraian.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
1. Herzien Indlandsch Reglement (HIR)(S.1941-44);
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009;
4. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT tidak melulu melibatkan fisik. Hinaan atau perkataan kasar dari pasangan juga dapat dikategorikan KDRT. Apakah suami Anda kerap melakukan hal tersebut? Jika iya, sebaiknya jangan hanya berdiam diri dan pasrah. Psikolog Ratih Ibrahim mengatakan, perkataan dan perlakuan kasar pasangan bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan karena istri pada dasarnya memiliki hak untuk dihormati, dihargai dan diperlakukan dengan pantas. Ketika seorang istri membiarkan perkataan dan perlakuan kasar suami, hal itu hanya akan membuat tindakan yang sama terulang terus-menerus. "Kondisi ini bisa berdampak buruk untuk kesehatan mental diri dan mengancam pernikahan," jelas Ratih yang merupakan pendiri pusat konseling PT Personal Growth itu dalam konsultasi cintanya pada pembawa Wolipop.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika suami sering berkata kasar, Ratih meminta pada para istri untuk tidak langsung menyalahkan dirinya sendiri dan merasa layak mendapatkan perlakuan tersebut. Hal itu karena perlakuan dan perkataan kasar suami ini bisa disebabkan karena memang karakter dari kepribadiannya yang terbentuk dari interaksi antara faktor genetik dan lingkungannya serta pengalaman hidupnya.
Hal serupa juga diungkapkan psikolog Kasandra Putranto. "Ada orang-orang tertentu yang memiliki sifat keras baik itu diturunkan dari ayah atau ibu. Sifat itu lahir dari cara mereka dibesarkan, misalnya orangtua yang cenderung otoriter dan suka mengatur orang lain," ujarnya saat diwawancara Wolipop beberapa waktu lalu.
Meskipun sikap kasar suami ini bisa jadi karena faktor genetik dan lingkungannya, ditekankan Ratih dan Kasandra, tetap saja hal tersebut jangan ditolerir. Yang sebaiknya dilakukan ketika sudah tidak tahan dengan ucapan kasar suami adalah dengan membicarakannya atau mengkonfrontasi pada pasangan.
Carilah waktu dan tempat yang tepat untuk mengajak suami berdiskusi serius. "Mulailah dengan memberitahukan bahwa Anda peduli dengannya namun Anda tidak senang dengan cara ia memperlakukan Anda, hal ini mempengaruhi perasaan Anda terhadapnya dan Anda khawatir hal ini dapat merusak hubungan," saran Ratih.
Saat berdiskusi ini, jika memang dia merasa tidak mengetahui apa saja perilakunya yang dianggap kasar oleh Anda, jelaskan dengan contoh-contoh. Saat suami mulai kembali marah dan berkata kasar, katakan padanya dengan tegas dan yakin bahwa apa yang dilakukannya itu menyakiti Anda.
"Terus ingatkan kembali dirinya secara konsisten ketika ia mengulangi kembali perilaku yang bersifat merendahkan / tidak menghargai Anda," jelas Ratih.
Jika suami tidak bisa diajak berdiskusi, lakukan konfrontasi langsung saat dia berkata-kata kasar pada Anda. Jangan terpancing untuk berdebat meskipun suami membela diri dan membuat alasan. Cukup terus tegaskan bahwa Anda tidak mau berbicara dengan cara yang kasar karena hal tersebut termasuk penganiayaan secara emosional.
Suami-Suami yang Suka Memukul—Tinjauan dari Dekat
DENGAN suara bulat para ahli menyetujui bahwa pria yang suka memukul istri pada dasarnya mempunyai ciri-ciri yang sama. Para dokter, ahli hukum, polisi, pejabat pengadilan, dan karyawan di bidang kemasyarakatan—yang pekerjaannya membuat mereka sehari-hari berhubungan dengan kekerasan dalam keluarga—semuanya menyetujui hal ini. Seorang pejabat pengadilan mengatakan, ”Cinta kepada diri sendiri—itulah ciri utamanya. Persamaan (analogi) antara pemukul istri dan seorang anak kecil benar-benar luar biasa. Kisah mengenai ledakan kemarahan diceritakan oleh setiap wanita yang saya tangani. Si pemukul dapat berhubungan secara baik dengan dunia hanya jika dunia ini dapat memenuhi kebutuhannya.” Pejabat ini menyebut si pemukul ”sosiopatis” (sociopathic), yang berarti ia tidak mampu mempertimbangkan akibat dari tindakannya.
”Hal yang menarik,” kata seorang penulis, ”pria yang suka menganiaya pada umumnya memiliki citra diri yang sangat rendah, perasaan yang sama yang mereka coba paksakan ke dalam diri korban mereka.” ”Sifat menguasai dan cemburu, juga ketidakmampuan seks dan perasaan rendah diri, adalah ciri-ciri umum dari pria yang suka memukul wanita,” kata seorang wartawan. Menyetujui ciri-ciri seorang penganiaya istri, seorang psikiater terkemuka menambahkan pendapatnya, ”Pemukulan adalah salah satu cara dari pria yang rendah diri untuk membuktikan kejantanannya.”
Jelaslah bahwa seorang pria penganiaya akan menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan kendali dan memperlihatkan kekuasaan atas teman hidupnya. Seorang penganiaya istri menyatakan, ”Jika kami berhenti memukul, kami akan kehilangan kendali. Dan hal itu sama sekali tidak boleh terjadi, dan tidak bisa diabaikan.”
Sering, tanpa alasan, suami yang suka memukul mempunyai sifat ingin memiliki yang tidak masuk akal dan merasa cemburu. Ia mungkin mengkhayalkan hubungan yang romantis antara istrinya dengan pengantar pos, pengantar susu, teman dekat keluarga, atau siapa saja yang ditemui istrinya. Sekalipun ia memperlakukan istrinya dengan kasar, menyakiti tubuhnya, ia sangat kuatir akan perpisahan atau kehilangan istrinya. Jika istri yang dianiaya mengancam untuk meninggalkan dia, ia mungkin berbalik mengancam akan membunuhnya dan kemudian bunuh diri.
Perasaan cemburu sering muncul pada waktu sang istri hamil. Suami bisa jadi merasa terancam akan kemungkinan bahwa kasih sayang istrinya akan berpindah darinya, bahwa sang bayi akan menjadi pusat perhatian. Banyak wanita yang dipukul melaporkan bahwa tanda pertama dari penganiayaan oleh suami adalah ketika suami mereka memukul perut dengan sangat keras selama masa kehamilan yang pertama. ”Perasaan cinta kepada diri sendiri (narsisisme) yang dimiliki suami akan menyebabkan ia benar-benar ingin membunuh bakal anak tersebut,” kata seorang pejabat pengadilan.
Segi lain dari ciri-ciri pemukul istri adalah siklus kekerasan yang dialami, sebagaimana diteguhkan oleh banyak istri yang dipukul. Pada tahap pertama, suami mungkin hanya akan menggunakan caci-maki atau bahasa kotor. Ia mungkin mengancam akan mengambil anak-anak dari istrinya, dengan mengatakan bahwa istrinya tidak akan melihat anak-anak lagi. Karena merasa terancam, sang istri akan mengakui bahwa segala sesuatu adalah salah dia, bahwa dialah penyebab dari perlakuan kasar suaminya. Kini ia berada di bawah telapak tangan suaminya. Sang suami memegang kendali. Namun ia harus memiliki kekuasaan yang lebih besar. Tahap pertama ini dapat timbul setiap saat setelah perkawinan—kadang-kadang hanya dalam beberapa minggu setelahnya.
Tahap kedua mungkin akan disertai ledakan kekerasan—menendang, meninju, menggigit, menarik rambut, membanting istrinya ke lantai, mengadakan hubungan seks dengan cara yang sangat kasar. Untuk pertama kali, sang istri menyadari bahwa itu bukan salah dia. Ia berpikir bahwa penyebabnya mungkin berasal dari luar—stress di tempat kerja atau ketidakcocokan dengan teman-teman sekerja.
Segera setelah ledakan kekerasan tersebut, sang istri dihibur oleh penyesalan suaminya. Sang suami kini berada pada tahap ketiga dari siklus tersebut. Ia melimpahi istrinya dengan hadiah-hadiah. Ia memohon pengampunannya. Ia berjanji bahwa hal tersebut tidak pernah akan terjadi lagi.
Namun hal itu terjadi lagi, dan berulang kali. Tidak ada lagi penyesalan. Sekarang hal itu menjadi cara hidup. Ia selalu mengancam akan membunuh istrinya jika sang istri mengancam akan meninggalkan rumah. Ia kini berada dalam kekuasaan penuh suaminya. Ingat kata-kata seorang pemukul istri yang tadi dikutip, ”Jika kami berhenti memukul, kami akan kehilangan kendali. Dan hal itu sama sekali tidak boleh terjadi.”
Pria yang suka memukul istri selalu akan mempersalahkan teman hidup mereka karena memancing pemukulan. Seorang direktur program dari biro jasa bantuan untuk wanita-wanita yang dipukul melaporkan, ”Si pemukul akan mengatakan kepada pasangan wanitanya, ’Kamu tidak melakukan hal ini dengan benar, karena itu saya memukulmu.’ Atau, ’Makan malam terlambat, itulah sebabnya saya memukulmu.’ Selalu sang wanita yang salah dan jika tindakan mempermainkan emosi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun, sang wanita dicuci otak untuk mempercayainya.”
Seorang istri diberitahu oleh suaminya bahwa dialah yang memancing perlakuan-perlakuan kasar tersebut melalui hal-hal yang ia lakukan dengan salah. ”Dengan meningkatnya kekerasan, meningkat pula dalih-dalihnya. Dan selalu dikatakan, ’Lihat apa yang telah saya lakukan gara-gara kamu. Mengapa kamu ingin agar saya melakukan kekerasan seperti ini?’”
Seorang bekas pemukul istri, yang ayahnya juga suka memukul istri, mengatakan, ”Ayah saya tidak pernah dapat mengakui bahwa ia salah. Ia tidak pernah meminta maaf atau mau bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Ia selalu menyalahkan korbannya.” Putranya juga mengakui, ”Saya menyalahkan istri saya sebagai penyebab semua penganiayaan yang diterimanya.” ”Selama 15 tahun,” kata yang lain, ”saya menganiaya istri saya karena ia seorang Saksi Yehuwa. Saya menyalahkan istri saya untuk segala sesuatu. Saya tidak menyadari bahwa apa yang saya perbuat begitu jahat sampai saya mulai belajar Alkitab. Sekarang hal itu menjadi kenangan yang buruk dalam hidup saya. Saya mencoba untuk melupakannya, namun hal itu selalu ada dalam ingatan saya.”
Kisah mengenai ayah dan anak, yang kedua-duanya suka memukul istri, bukan hal yang unik. Hal tersebut, sebaliknya, merupakan ciri-ciri umum dari suami yang suka memukul. Sang anak mengakui bahwa pemukulan istri telah berlangsung 150 tahun dalam keluarganya, seolah-olah diteruskan dari ayah ke anak. Menurut Koalisi Nasional Melawan Kekerasan dalam Keluarga (di A.S.), ”dari antara anak-anak yang menyaksikan kekerasan di rumah, 60 persen dari anak laki-laki akhirnya menjadi pemukul istri dan 50 persen dari anak-anak perempuan menjadi korbannya”.
Seorang penulis surat kabar mengatakan, ”Sekalipun mereka mungkin tidak kena pukul dan tidak memperlihatkan gangguan secara lahiriah, anak-anak ini telah mempelajari sesuatu yang mungkin tidak pernah akan mereka lupakan, bahwa mengatasi problem dan stress dengan cara kekerasan dapat diterima.”
Mereka yang menyediakan penampungan bagi wanita-wanita yang dipukul mengatakan bahwa anak laki-laki yang pernah melihat ibu mereka dipukul oleh ayah mereka sering berlaku kasar terhadap ibu mereka atau mengancam akan membunuh saudara-saudara perempuan mereka. ”Ini bukan hanya permainan anak-anak,” kata seseorang. ”Itu niat yang sungguh-sungguh.” Setelah melihat orang-tua mereka menggunakan kekerasan untuk mengatasi kemarahan, anak-anak menganggap itu sebagai satu-satunya pilihan mereka.
Ada sebuah lagu anak-anak (dalam bahasa Inggris) yang mengatakan bahwa anak-anak perempuan terbuat dari ”gula dan penyedap, dan segala sesuatu yang enak”. Anak-anak perempuan ini kelak tumbuh menjadi ibu dan istri, yang kepadanya sang suami mengatakan ’saya tidak dapat hidup tanpa engkau’. Jadi, jelas sekali bahwa keadilan menentang tindakan penganiayaan terhadap istri, namun keadilan siapa—manusia atau Allah?
Seseorang terkadang menunjukkan sifat aslinya saat berada dalam kondisi tertekan. Jika suami sering berkata kasar tentu hal ini membuat kamu bimbang ya. Bagaimana menyikapinya dan haruskah bertahan dengan suami yang kasar?
Tentunya memiliki suami dengan sifat kasar bisa membuat pasangannya tidak nyaman, menyakiti hati dan merasa gagal dalam memilih pasangan. Lalu, bagaimana menyikapi suami kasar? Yuk, coba ikuti ulasan berikut ini.
Penyebab suami bersifat kasar
Sebagai istri kamu mungkin bertanya-tanya, mengapa suami bersifat kasar? Apalagi, sikap ini tidak terjadi pada saat awal menikah. Ada beberapa alasan atau penyebab suami dapat bersifat kasar, yaitu:
Sifat kasar suami terkadang memiliki alasan, namun apakah istri akan dapat terus menerima alasan dan bertahan?
Haruskah bertahan dengan suami yang kasar
Suami yang melakukan kekerasan dan bersifat kasar memang menjadikan istri tidak tahan dan ingin memutuskan hubungan.
Lalu apakah suami dapat berubah sikap? Mengubah sikap seseorang tidak mudah dan itu keinginan berubah itu harus ada dalam dirinya.
Suami yang ingin melakukan perubahan sifat dan mencoba mempertahankan hubungan dapat diketahui dari ciri ciri berikut:
Cara menghadapi suami yang kasar
Suami memiliki sifat kasar harus bisa disikapi dengan cara tegas. Tips untuk menghadapi suami kasar antara lain:
Jika kamu merasa bahwa suami tidak dapat lagi diajak diskusi dengan baik dan dia tidak membantu mempertahankan rumah tangga, maka mungkin bercerai bisa menjadi solusinya.
Namun jika suami masih ada keinginan untuk memperbaiki diri, maka bantuan dari konseling pernikahan atau konseling keluarga dapat menjadi cara untuk menemukan solusi yang lebih baik.
Memang tidak mudah menghadapi suami yang egois dan haruskah bertahan dengan suami yang kasar. Kenali sejauh apa kemampuan kamu dalam menghadapi suami. Berikan waktu kepada dirimu sendiri untuk mengevaluasi hubungan rumah tangga.
Seseorang terkadang menunjukkan sifat aslinya saat berada dalam kondisi tertekan. Jika suami sering berkata kasar tentu hal ini membuat kamu bimbang ya. Bagaimana menyikapinya dan haruskah bertahan dengan suami yang kasar?
Tentunya memiliki suami dengan sifat kasar bisa membuat pasangannya tidak nyaman, menyakiti hati dan merasa gagal dalam memilih pasangan. Lalu, bagaimana menyikapi suami kasar? Yuk, coba ikuti ulasan berikut ini.