Membersihkan Harta Haram yang Diinvestasikan di Bangunan Fisik

BABAGIMANA CARANYA MEMBERSIHKAN HARTA HARAM YANG DIINVESTASIKAN DI BANGUNAN FISIK DAN APAKAH BOLEH MENGAMBIL UNTUK KEBUTUHANNYA?

PertanyaanAda seseorang yang telah mengumpulkan banyak kekayaan dari melakukan perbuatan keji (zina), akan tetapi sekarang telah bertaubat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, hartanya sekarang dibagi menjadi dua bagian: Satu bagian ada di tiga bank Eropa, berjumlah lebih dari 100.000.000 Dollar. Dan bagian kedua diinvestasikan, untuk membangun gedung 15 apartemen, 3 pertokoan dengan cara disewakan. Semenjak ia bertaubat dia belum pernah menyentuh harta yang dihasilkan dari menyewakan gedung tersebut, semua harta tersebut ditaruh di bank.

Sekarang dia hidup dengan harta yang halal yang didapat dari menyewakan sawah orang tuanya, akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia juga sedang sakit, membutuhkan biaya operasi, ia menolak untuk dibiayai dengan harta haramnya, dia bertanya apa yang harus diperbuat dengan harta haramnya ?, bagaimana yang seharusnya ia lakukan dari harta hasil sewa yang ada di bank ? apa yang seharusnya dilakukan dengan hartanya yang ada di bank Eropa ?, saya mohon jawabannya dengan rinci; karena dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, dia juga berfikir untuk mengambi sebagian hartanya yang tersimpan di bank eropa, menginvestasikannya, dan setelah itu uang pokoknya mau disedekahkan, maka apakah hal itu dibolehkan ?, ia juga mempunyai usaha laundry besar yang dibangun dengan harta haram juga, setelah ia bertaubat ia menutup usahanya tersebut dan tidak memanfaatkannya. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan dengan laundry dan gedung tersebut demikian juga dengan hasil sewa gedung?JawabanAlhamdulillah.

Pertama: Barang siapa yang mendapatkan harta dari cara yang haram, seperti zina, suap atau upah penyanyi, kemudian ia bertaubat, jika dia sudah membelanjakan hartanya maka tidak ada masalah.

Namun jika harta tersebut masih berada di tangannya, maka ia wajib melepaskannya dengan cara menginfakkannya untuk jalan kebaikan, memberikannya kepada fakir dan miskin.

Kecuali jika dia masih membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai kebutuhannya dan melepaskan sisanya.

Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:“Masalah yang kedua: jika seseorang telah melakukan barter (transaksi) dengan orang lain dengan cara yang haram, ia pun telah menerima imbalannya, seperti; pezina, penyanyi, penjual khomr, persaksian palsu, dan lain sebagainya, kemudian bertaubat dan hasil transaksi itu masih berada di tangannya, maka:Sebagian ulama berkata:“Dikembalikan kepada pemiliknya, karena hartanya itu diterima tanpa adanya izin dari pembuat syari’at (Allah), tidak juga dengan menerimanya mendatangkan manfaat yang mubah”.Sebagian lainnya mengatakan:Akan tetapi taubatnya dengan cara mensedekahkannya, dan tidak membayarkannya kepada orang yang memberinya. Inilah pendapat syeikh Ibnu Taimiyah dan inilah yang lebih tepat dari kedua pendapat di atas.  (Madarikus Salikin: 1/389)Ibnu Qayyim telah membahasnya dengan panjang lebar tentang masalah ini di dalam Zaadul Ma’ad (5/778) dan beliau menentukan bahwa cara untuk membebaskan diri dari harta tersebut dan sebagai bentuk kesempurnaan taubatnya, hanya dengan cara mensedekahkannya.Namun jika masih membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya dan mensedekahkan sisanya.Syeikh Islam berkata:“Jika seorang wanita bertaubat dari perbuatan zina dan seorang laki-laki dari minum khamr, sedangkan mereka dalam kondisi fakir, maka mereka dibolehkan mengambil dari harta tersebut sesuai dengan kebutuhannya.Jika dia mampu untuk berdagang atau memproduksi sesuatu, seperti; merajut, memintal benang, maka diberikan harta pokoknya saja.Dan jika mereka mengambil dengan akad hutang untuk dijadikan modal berdagang, maka dengan akad hutang lebih baik”. (Majmu’ Fatawa: 29/308)Atas dasar itulah maka:Maka dibolehkan bagi laki-laki tersebut untuk mengambil dari harta haramnya sesuai dengan kebutuhannya, untuk keperluan operasi atau untuk belanja harian.Atau mengambil sebagian untuk dijadikan modal usaha sebagai bekal hidupnya. Kemudian mensedekahkan harta pokok yang ia pinjam, kapan saja setelah dia mampu.Atau sejak awal dia berakad untuk meminjam harta tersebut, dan berniat untuk mengembalikannya jika sudah mampu nantinya.Tidak masalah jika gedung dan laundrynya dijadikan sebagai harta pokok untuk usaha dengan mengambil sebagian harta yang ia butuhkan dan membebaskan diri dari sisanya.Kedua: Tidak boleh menyimpan harta di bank-bank ribawi, kecuali dengan niatan untuk menjaga keamanan dan hanya menyimpannya sebatas pada rekening berjalan bukan untuk simpanan penuh.Tidak ada kebutuhan dalam hal ini untuk menjaga harta, akan tetapi sebaiknya segera membebaskan diri dari harta haram tersebut dengan cara diberikan kepada fakir miskin, membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, dan lain sebagainya untuk kemaslahatan kaum muslimin.Semoga Allah menerima taubatnya dan mengampuninya.Wallahu A’lamDisalin dari islamqa

Di masa Rasulullah SAW dan berabad-abad kemudian, emas dan perak masih berlaku sebagai alat tukar yang sah dan diakui di semua negara dan berbagai peradaban dunia, tanpa harus menunggu keputusan dan nilai kurs yang berlaku.

Sebab emas dan perak adalah alat tukar yang bersifat universal, tidak terikat dengan keadaan politik, sentimen pasar dan masalah lainnya.

Pengganti Dinar dan Dirham

Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat atau perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya.

Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.

Pada zaman koin emas masih digunakan, terdapat kesulitan yang ditimbulkan yaitu kebutuhan atas tempat penyimpanan emas yang cukup besar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bermunculan jasa titipan koin emas (gudang uang) yang dilakukan oleh tukang emas.

Masyarakat menitipkan koin mereka ke gudang uang, dan pemilik gudang uang menerbitkan "kuitansi titipan (nota)" yang menyatakan bahwa mereka menyimpan sekian koin emas dan koin tersebut dapat diambil sewaktu-waktu. Tentu saja jasa tersebut ada biayanya.

Dengan berlalunya waktu dan semakin banyak nota titipan beredar, masyarakat menyadari bahwa mereka dapat melakukan transaksi jual beli hanya dengan menggunakan nota tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka, para pemilik nota dan pedagang percaya bahwa mereka dapat mengambil koin emas di gudang uang sesuai jumlah yang tertera di nota titipan. Mereka percaya bahwa nota tersebut dijamin oleh koin emas yang benar.

Sampai titik ini, mungkin bisa dianggap "tidak ada masalah" karena jumlah nota beredar, dibackup sesuai dengan jumlah koin emas yang ada di gudang uang.

Tapi, semua mulai berubah saat ketamakan itu datang. Seiring berjalannya waktu, pemilik gudang uang menyadari secara empiris bahwa, tidak semua orang akan mengambil seluruh simpanannya dalam jangka waktu yang sama.

Katakanlah, dalam suatu waktu, hanya 10% dari total koin yang diambil oleh pemiliknya. Sisanya 90%, menumpuk, menganggur, menunggu bisikan untuk dipergunakan.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemilik gudang uang mulai -secara diam-diam meminjamkan koin emas yang menumpuk tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan modal dengan cara menerbitkan nota kosong, seolah-olah dijamin oleh emas, padahal tidak sama sekali, karena yang digunakan adalah koin emas para nasabah yang menitipkan emasnya.

Inilah awal dari istilah "menciptakan uang dari udara kosong". Selain meminjamkan, tentu mereka menarik bunga atas pinjaman tersebut.

Nota kosong pun beredar layaknya nota asli. Karena pemilik gudang mengatur sedemikian rupa supaya jumlah total nota kosong yang beredar tidak melebihi jumlah koin emas yang diambil oleh pemilik koin emas dari cadangan emas di gudang, sistem ini berlangsung terus menerus tanpa disadari. Inilah cikal bakal Bank Fractional.

Namun, karena jumlah total nota, baik yang asli ditambah yang palsu beredar sebenarnya melebihi jumlah emas sesungguhnya yang tersimpan di gudang uang, efek inflasi terjadi dan harga-harga merangkak naik secara tidak wajar.

Masyarakat mulai resah dan ada yang mulai menyadari sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Mereka pun mulai mengambil simpanan emas mereka dari gudang berdasarkan nota yang mereka miliki.

Namun apa yang terjadi?

Karena nota asli dan palsu sama sekali tidak dapat dibedakan, hanya mereka yang datang di awal-awal saja yang dapat mengklaim emasnya. Sementara mereka yang datang terlambat, sama sekali tidak dapat mengklaim emasnya karena memang sudah tidak ada atau sudahhabis. Inilah contoh awal dari kolapsnya Bank.

Sampai tahun 1971, seluruh negara di dunia sebenarnya masih menggunakan sistem uang kertas berbasis emas (atau dolar, karena dolar menjadi mata uang kunci yang dikaitkan kepada emas).

Tetapi setelah tahun 1971, hal yang jauh lebih buruk terjadi. Sistem uang kertas dilepas dari emas sehingga menjadi benar-benar uang kertas dalam arti kertas sesungguhnya, yaitu kertas yang dicetak begitu saja lalu dianggap sebagai uang dan tidak dijaminkan dengan emas apapun. Inilah yang disebut dengan uang fiat (fiat money).

Semua bermula dari dibatalkannya perjanjian Bretton Wood oleh Amerika. Perjanjian Bretton Wood dimulai tahun 1945. Perjanjian ekonomi ini dilakukan setelah Perang Dunia kedua. Pada masa itu, akibat perang, negara-negara di Eropa mengalami kebangkrutan (defisit) finansial akibat pembiayaan perang. Sebaliknya Amerika Serikat (AS) memiliki cadangan emas yang luar biasa melimpah, senilai $25 Milyar.

Karena kekayaan melimpah tersebut, Amerika dengan leluasa membuat perjanjian Bretton Wood yang pada intinya adalah mengkaitkan nilai dolar senilai $1=1/35 ons emas, serta menjadikan dollar sebagai mata uang kunci di dunia, sehingga semua negara wajib menggunakan dollar atau emas sebagai devisa.

Sebagai tambahan, dalam masa ini, rakyat Amerika dilarang mengklaim (menukarkan) dolarnya dengan emas. Emas dari klaim dolar hanya boleh beredar antara bank central dan pemerintah negara. Emas kini menjadi uang antar pemerintahan.

Selama beberapa waktu sistem ini bertahan dan berjalan lancar. Amerika yang kaya raya memiliki ruang untuk melakukan kebijakan yang inflatif, mulai mencetak dolar melebihi jumlah cadangan emasnya.

Selama beberapa waktu, hal ini terjadi, efek inflasi yang dihasilkannya membuat beberapa negara Eropa khawatir apakah Amerika dapat membayar emas-nya. Dimulai oleh Perancis yang mulai mengklaim emas atas cadangan dollar yang dimilikinya, negara-negara lain pun mulai ikut mengklaim emas mereka sehingga emas pun mengalir dari Amerika ke negara-negara lain.

Selama beberapa tahun, kejadian ini membuat stok emas AS menipis hingga tersisa sekitar $ 9 Milyar. Dengan cadangan yang berkurang jauh tersebut, Amerika khawatir mereka tidak dapat lagi memenuhi janjinya untuk membayar 1 ons emas dengan harga $35, karena banyaknya jumlah dollar yang beredar. Apalagi negara-negara lain terus mengklaim emas mereka.

Akhirnya, pada tahun 1971 AS secara sepihak membatalkan perjanjian Bretton Wood dan mulai menetapkan kebijakan uang fiat. Uang fiat ini, karena sejatinya tidak bernilai dan tidak ada yang mau menggunakannya, maka dibuatlah undang-undang yang disebut Legal Tender. Sebuah undang-unang yang memaksa rakyat suatu negara untuk menerima penggunaan uang fiat.

Kebijakan uang fiat tersebut akhirnya diikuti pula oleh seluruh negara di dunia. Seluruh mata uang resmi negara di dunia sekarang ini adalah uang fiat yang sama sekali tidak dibackup berdasarkan apa pun, kecuali kekuatan politik dan militer negara tersebut.

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Saya bekerja di sebuah LSM, saya memiliki seorang sahabat - dia memiliki sebuah usaha warung makan yang tergolong sukses.

Beberapa kali kami bercerita mengenai usahanya - ternyata dia menyimpan perasaan bersalah yang terus menghantuinya karena 5 tahun lalu saat ia memulai usahanya ternyata modal yang ia gunakan berasal dari uang haram (mencuri dari beberapa tetangganya).

Assalamu Allaikum Wr.Wb

Melalui email ini dia menitipkan beberapa pertanyaan :

1. Bagaimana cara membersihkan harta yang ia miliki saat ini?

2. Kalau dia mengembalikan uang yang pernah ia curi tersebut apakah bisa membersihkan harta yang diperoleh dari keuntungan usahanya tersebut?

Demikian, mohon penjelasannya - terima kasih.

Wassalamu Allaikum Wr.Wb

Menyesali perbuatan dosa besar adalah hal yang baik dan positif. Allah akan mengampuni hambanyanya yang bertaubat dari dosa yang dilakukannya di masa lalu. Apa yang terjadi pada dia mirip dengan kasus yang terjadi pada penanya sebelumnya seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang

Singkatnya, dia menanggung 2 (dua) perbuatan dosa yaitu dosa pada sesama manusia (hak adami) karena mengambil harta tanpa hak dan dosa pada Allah karena melanggar larangan Allah. Namun demikian uang yang dia hasilkan dari hasil usahanya adalah halal.

Berikut jawaban untuk 2 pertanyaan anda:

1. Cara membersihkan hartanya adalah

(a) bayarkan kembali seluruh harta yang dicuri kepada yang berhak.

(b) taubat nasuha yaitu menyesali perbuatan masa lalu, taat ibadah, dan banyak bersedekah sunnah selain

. Karena perbuatan baik yang konsisten akan menghapus keburukan dan dosa masa lalu. Allah berfirman dalam QS Hud 11:114 إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ (Artinya: kebaikan akan menghapus keburukan)>

2. Untuk membersihkan hartanya ada 2 hal yang harus dilakukan. Pertama, mengembalikan harta yang dicuri. Kedua, membayar zakat secara teratur sesuai dengan aturan zakat yang berlaku. Lihat:

_____________________________________________________________

Assallammualaikum wr.wb.

Saya mau bertanya apakah hukumnya memakan kepiting, karna ada yang bilang halal dan ada yang mengatakan haram.

Ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama ahli fiqih tentang hukum halal dan haramnya kepiting. Pendapat yang muktamad dalam madzhab Syafi'i menyatakan kepiting itu haram. Ini adalah pendapat Iman Nawawi dalam kitab Ar-Raudah. Pendapat ini didukung oleh Imam Romli dalam kitab An-Nihayah dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Fatawa di mana dia mengatakan:

وإذا ثبت خبثه حرم بنص الآية, فالأولى لمن أراد أكله تقليد مالك وأحمد رضي الله عنهما, فإنهما يريان حل جميع ميتات البحر ـ أي جميع ما في البحر وإن كان يعيش في البر ـ كما نقله في المجموع عنهما

Artinya: Apabila sudah disepakati kalau kepiting itu buruk (khubts), maka haram memakannya berdasarkan nash Al-Quran (yakni ayat: يحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث). Bagi yang ingin memakan kepiting, maka sebaiknya dia mengikuti pendapat Imam Malik (madzhab Maliki) dan Ahmad bin Hanbal (madzhab Hanbali) karena mereka berdua menyatakan halalnya seluruh binatang laut walaupun dapat hidup di darat seperti dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk.

Imam Nawawi dalam Al-Majmuk juga menyatakan pendapat lain dari ulama madzhab Syafi'i bahwa seluruh binatang laut itu halal kecuali kodok.

Kesimpulan: Ada perbedaan ulama dalam soal halal haramnya kepiting. Mayoritas madzhab Syafi'i menganggap haram, sebagian menyatakan halal. Sedangkan madzhab Maliki dan Hanbali menganggap halal. Bagi madzhab Hanafi, semua binatang laut itu haram kecuali ikan.

Jadi, kalau anda suka kepiting, ikuti saja pendapat madzhab Maliki dan Hanbali seperti yang disarankan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami di atas.

Oh ya, di Indonesia madzhab Hanbali adalah madzhab fiqih yang banyak diikuti oleh

_____________________________________________________________

Assalamu 'alaikum War. Wab.

Saya pernah mendengar seorang guru membacakan sebuah Hadits Nabi SAW yang artinya begini : " Setiap perkara yang memiliki kebaikan yang tidak dimulai dengan ucapan Bismillahi Al- Rahmani Al Rahim (Basmalah) maka terputus (barokahnya). Berkaitan dengan hal ini saya menjadi bertanya tanya dalam hati ketika saya teringat waktu mendengar sang Khotib Sholat Jum'at ketika membacakan khotbahnya tidak didengar memulai dengan ucapan Basmalah. Pertanyaan dalam hati ini saya simpan samapai pada hari jum'at berikutnya saya pindah sholat Jum'at di Masjid yang lain,.Kemudian saya perhatikan sang khotib demikian juga adanya . Menurut pemikiran saya ,bahwa bacaan khotbah itu sendiri memiliki nilai kebaikan . Mengapa tidak di dahului dengan bacaan Basmalah .

Sehubungan dengan ini saya ingin bertanya :

1. Bagaimanakah hukum membaca Basmalah diawal khotbah sholat jum'at.

2. Bagaimana hubungannya dengan Hadits diatas Bacaan khotbah yang tidak didahului dengan ucapan Basmalah .

Mohon penjelasan dari Ustadz.

Wassalamu 'alaikum War. Wab.

1. Ibadah Jum'at pada dasarnya adalah ibadah. Dan ibadah dalam Islam harus mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Nabi Muhammad dalam membaca khutbah tidak pernah memulai dengan ucapan bismilah. Dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Jabir bin Abdillah meriwayatkan khutbah Nabi sebagai berikut:

كَانَتْ خُطْبَةُ النَّبيِّ-صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ- يَوْمَ الْجُمُعَةِ: يَحْمَدُ اللَّهَ، وَيُثْنِي عَلَيْه،ِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذَلِك،َ وَقَدْ عَلَا صَوْتُهُ، ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِهِ

Artinya: Khutbah Nabi pada hari Jumat adalah mengucapkan hamdalah, memuji Allah, lalu setelah itu mengucapkan khutbahnya dengan suara keras...

2. Hadits anjuran membaca basmalah itu bersifat umum. Jadi, ada beberapa pengecualian yang ditentukan oleh syariah berdasarkan landasan Quran dan hadits termasuk dalam hal ini bacaan khutbah.

_____________________________________________________________

Assalamualaikum wr.wb

Ustad batasan orang murtad itu bagaimana? Karena dalam hati saya selalu ada bisikan bisikan untuk meremehkan dosa padahal saya tidak ingin meremehkan dosa tersebut dan mengatakan bahwa dosa perbuatan saya termasuk murtad. Kadang kadang karena begitu bingungnya sehingga dalam hati saya berkata "ah saya g butuh mau dosa apa tidak / ah murtad tidak apa apa" dan ketika dudah berkata demikian saya merasa sangat menyesal sekali karena kuatir murtad. Dan saya telah selalu bersyahadat detelah yang demikian. Tapi saya belum dapat berhenti dari perbuatan dosa yang sama. Dosa yang saya lakukan yaitu berupa smsan dan pacaran.

1. Apakah status saya. Apakah masih di anggap islam?

2. Apakah melakukan dosa besar bisa menjadi murtad?

3. Apakah saya harus mutus pacar saya dan harus berhenti sms-an agar bisa menjadi islam lagi?

4.saya sebenernya bingung ini sebuah bisikan apa asli dari hati. Bila benar dari hati, apakah saya cukup bertaubat dari niat murtad tersebut. Atau harus bertaubat dari dosa tersebut yaitu berupa pacaran ? Agar saya menjadi islam.

Terimakasih mohon nama saya di samarkan. Wassalamualaikum wr.wb

1. Anda masih dianggap Islam selagi anda terus menyadari bahwa bisikan itu salah dan selalu istighfar (memohon ampun pada Allah) atas apa yang baru saja anda lakukan dan membaca syahadat.

2. Melakukan dosa besar tidak membuat murtad kecuali kalau menganggap itu bukan dosa.

3. Berkomunikasi dengan lawan jenis melalui SMS tidak apa-apa selagi kata-kata yang ditulis tidak melanggar syariah dan/atau menimbulkan syahwat. Lihat

4. Cukup bertaubat dari meremehkan pada dosa. Namun, apabila adanya perempuan itu dianggap dapat merusak keislaman anda, maka memutuskan hubungan dengannya itu lebih baik. Selain itu dianjurkan untuk berteman dan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki wawasan dan perilaku agama yang baik akan membuat pemikiran dan perilaku yang kondusif untuk perbaikan kualitas keislaman anda. Sebagai langkah pertama, bertemanlah dengan imam masjid dan orang-orang yang sering berjamaah ke masjid.

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim membuat menyatakan

وَاعْلَمْ أَنَّ مَذْهَب أَهْل الْحَقّ: أَنَّهُ لَا يَكْفُرُ أَحَدٌ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة بِذَنْبٍ وَلَا يَكْفُرُ أَهْلُ الْأَهْوَاءِ وَالْبِدَع، وَأَنَّ مَنْ جَحَدَ مَا يُعْلَمُ مِنْ دِينِ الْإِسْلَام ضَرُورَةً حُكِمَ بِرِدَّتِهِ وَكُفْرِهِ إِلَّا أَنْ يَكُون قَرِيب عَهْد بِالْإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بِبَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ وَنَحْوه مِمَّنْ يَخْفَى عَلَيْهِ فَيُعَرَّفُ ذَلِكَ ؛ فَإِنْ اِسْتَمَرَّ حُكِمَ بِكُفْرِهِ ، وَكَذَا حُكْم مَنْ اِسْتَحَلَّ الزِّنَا أَوْ الْخَمْرَ أَوْ الْقَتْلَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ الْمُحَرَّمَات الَّتِي يُعْلَمُ تَحْرِيمُهَا ضَرُورَةً

Inti dari pernyataan Imam Nawawi di atas adalah: Apabila seorang muslim melakukan perbuatan dosa baik kecil atau besar maka hal itu tidak membuatnya murtad atau kafir kecuali apabila dia menganggap halal dosa-dosa besar yang sudah dimaklumi keharamannya seperti menghalalkan mencuri, zina, minum miras, dan lain-lain. Lihat:

__________________________________________________________

Assalamualaikum,WR.WB.

Nama saya dadang, sya bekerja di Instansi Swasta, dan sudah bekerja selama lebih 10 tahun. selama itu pula dalam hati saya merasa resah, dan tidak nyaman, karena bos saya adalah orang Nasrani. bos saya pernah jadi pendeta tapi sekarang sudah tidak kayaknya. Bagaimana hukumnya bekerja di tempat orang non Muslim ?. memang ditempat kerja tidak ada larangan solat atau perlakukan yg bertentangan dengan Islam. cuman sy pernah membaca artikel bahwa kita dilarang mengangkat seorang pimpinan selain dari orang muslim. terimakasih. mohon jawaban bisa di email ke saya.

Wasalamualaikum, WR.WB.

Menjalin hubungan bisnis dan pertemanan dengan nonmuslim itu tidak dilarang dalam Islam. Nabi Muhammad saat meninggal malah punya hutang pada orang Yahudi Madinah dengan menggadaikan baju perangnya sebagai jaminan membeli gandum berdasarkan sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah

اشترى النبي صلى الله عليه وسلم من يهودي شعيراً إلى أجل ٍ ورهنه درعه

Artinya: Nabi Muhammad membeli gandum dari orang Yahudi secara berjangka dan jaminannya adalah baju besinya.

Berdasar pada hadits ini ulama berpendapat atas bolehnya seorang muslim untuk bermuamalah (memiliki hubungan) secara bisnis, pertemanan, atau yang lain apabila muamalah tersebut dengan cara yang tidak melanggar syariah.

Jadi, hubungan anda dengan bos anda itu termasuk hubungan yang dibolehkan kecuali kalau bos anda sampai melarang anak buahnya untuk melakukan ibadah wajib seperti

Adapun larangan mengangkat seorang pimpinan selain dari orang muslim itu disebut dalam QS An-Nisa' 4:144

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمنين

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.

Juga disebut dalam QS Ali Imran 3:28

لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء إلا أن تتقوا منهم تقاة ويحذركم الله نفسه وإلى الله المصير

Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).

Lihat juga QS Al-Maidah 4:51

Menurut Ibnu Katsir (Kathir) larangan bermuamalah (berinteraksi) dengan orang nonmuslim itu apabila dipakai sebagai upaya persekongkolan atau tipu daya jahat untuk menghancurkan Islam. Dalam Tafsir Ibnu Kathir, Ibnu Katsir berkata:

نهى الله ، تبارك وتعالى ، عباده المؤمنين أن يوالوا الكافرين ، وأن يتخذوهم أولياء يسرون إليهم بالمودة من دون المؤمنين

kaitannya dengan pemimpin negara di sebuah negara yang mayoritas Islam.

__________________________________________________________

Oleh: Dr. Salman Nasution SE.I., MA

Jika ditanya, siapakah yang mencipta­kan langit dan bumi?, maka semua men­jawab bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Sang Maha Pencipta. Hal ini juga menjadi ideologi bangsa Indonesia yang menempatkan keyakinan kepada Tuhan berada di puncak teratas (dalam sila pertama) dalam Pancasila yaitu “Ketuha­nan Yang Maha Esa”. Dan dalam pengem­ba­ngannya, Indonesia mengakui akan ke­bera­gaman keagamaan dan keyakinan se­ba­gaimana termaktub dalam UUD 1945 ayat 1 dan 2.

Keyakinan kepada Tuhan, tidak serta mer­ta yakin di dalam hati, namun yang ter­penting yaitu menjalankan perintah-pe­rin­tah Tuhan yang tertera pada kitab yang di­imani, termasuk diantaranya “jangan men­curi”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal uang haram. Entah apa maksud dan siapa pula yang membuat istilah ini, sehingga istilah Uang Haram masih ter­dengar dan dibahasakan oleh beberapa ka­langan?. Namun begitu pun, penulis akan menyampaikan istilah tersebut dari segi kebahasaan, agama dan sosial dan dihubungkan pada fenomena kekinian. Sehingga, pengungkapan istilah uang haram, dapat dimaksud dapat menjaga ke­har­monisan per­saudaraan dan menjaga nilai-nilai agama yang dianut oleh rakyat In­donesia.

Uang adalah ciptaan yang dibuat oleh manusia dengan tujuan untuk memperlan­car alur transaksi keuangan. Banyak cip­taan uang yang dibuat oleh manusia, di­antaranya adalah uang emas dan perak, uang kertas dan uang teknologi atau dikenal dengan fintech. Keberlakuan uang merupa­kan peng­akuan dari penguasa dan atau pemerintah yang diedarkan ke­pada seluruh rakyatnya. Namun, ada juga kepemilikan uang yang memiliki nilai seperti berbahan dasar emas. Selanjutnya adalah Haram, yai­tu suatu sifat hukum atau hukuman yang divonis (secara hukum agama) di saat seseorang atau masya­rakat berbuat ke­salahan atau kejahatan secara sengaja. Dalam pengembangan kebahasaan bahwa Uang Haram yaitu uang yang diperoleh dari hasil kejahatan manusia seperti ko­rupsi, mencuri, menipu, berjudi dan lain­nya.

Jika merujuk pada literasi bahasa Arab, bahwa haram ber­akar kata dari huruf ha-ra-ma. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, Haram yaitu terlarang, tidak halal, suci, terpelihara, Banyak istilah-istilah haram yang digabungkan dengan kata-kata benda lainnya seperti anak-haram, Masjidil-Haram atau tanah-haram, makanan-haram dan lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa kata benda yang dibumbuhi dengan kata haram, maka akan berkonotasi negatif.

Ada makna lainnya dari kata “haram” ter­sebut, yaitu harus dimaknai secara jelas, se­hingga jika kata tersebut digabungkan dengan kata lainnya tidak hanya berkono­tasi negatif dalam hubungannya pada aga­ma dan sosial. Apalagi, jika disam­paikan ke­pada orang yang belum paham, sehingga dapat memperkeruh pola pikir bagi si penerima bahasa. Hal ini disebabkan ka­rena pemahaman kata tersebut terjadi ter­ba­tasnya bahasa secara agama dan sosial.

Tidak ada dalam catatan sejarah, kapan is­tilah Uang Haram ini hadir, namun ung­kapan ini akan dikumandangkan di saat se­seorang melakukan kejahatan dalam hu­bungan pada uang. Uang yang didapat dari hasil kejahatan maka masyarakat akan menyebutnya “Uang Haram”. Memakan makanan dari hasil uang haram, dilarang oleh agama karena adanya larangan untuk melakukan kejahatan bahkan mengganggu hak orang lain. Dalam ajaran Islam me­me­rintahkan “makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah re­ze­ki­kan kepadamu” (QS. Al Maidah : 88). Bah­kan, perintah Islam sangat tegas ter­hadap orang yang memperoleh dari hasil uang haram yaitu hukuman potong tangan.

Dalam agama Kristen dalam Imamat 6:2, 4-5, seorang pencuri akan menda­pat­kan dosa dan harus memulangkan barang yang dirampasnya, bahkan si pencuri mem­bayar gantinya sepenuhnya dengan me­nambah seperlima. Hal ini juga ada dalam salah satu dari “Sepuluh Perintah Allah” yang ada dalam kitab Taurat atau Perjanjian Lama. Sama halnya dengan agama Budha dan Hindu yang menolak terhadap pen­curian atau mengambil uang yang bukan hak­nya.

Adanya larangan dalam agama, tentu sangat berhubungan dengan Sang Maha Pemberi Rezeki di langit dan di bumi yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang telah mem­berikan dan meng­hamparkan rezeki­nya, sehingga semua makhluk hidup (ma­nusia, hewan dan tumbuhan) pasti mampu memperolehnya. Selain itu juga, Tuhan tidak pernah mengajarkan manusia untuk menjadi pengemis atau meminta-minta apalagi mencuri. Karena manusia dicipta­kan, memiliki potensi hati yang bersih dan akal untuk berfikir dan berinovasi. Ada hal yang paling penting dari penggunaan uang haram yaitu tidak layak bagi seorang manusia mengambil hak orang lain di saat Tuhan sudah menyediakan fasilitas untuk manusia, maka dari itu, semua agama se­pakat bahwa untuk memperoleh uang harus di­awali dengan suatu pekerjaan yang baik ka­rena akan berhubungan pada pendapatan yang akan digunakan membeli untuk dikonsumsi.

Dimanapun masyarakatnya, bahwa uang haram yang diperoleh, sangat meng­ganggu ditengah-tengah masyarakat. Ke­jenuhan dan kesal pada pencurian, mem­buat masyarakat akan menghabisi para pelaku kejahatan. Sampai pada akhirnya, tuduhan dan kecurigaan pada pelaku pencurian, perampokan disaat tertangkap tangan akan dihukum massa sampai babak belur yang membuat pelakunya mati di tempat bahkan pembakaran bagi pelaku yang tidak segan-segan dilakukan oleh masyarakat.

Pria bernama Muhammad Al Zahra di­bakar karena dituduh mencuri di Bekasi tahun 2017, dan baru-baru ini pada Selasa 19 Februari 2019, 2 (dua) orang pria dituduh mencuri sepeda motor di kampus negeri di Sumatera Utara. Kedua pria tersebut tewas dihakimi massa (mahasiswa dan pengaman kampus). Namun perlu dipahami bahwa pencurian tersebut sering kali terjadi sehingga harga barang yang di­curi lebih berharga daripada nyawa se­orang manusia (dalam istilah psikolog di­sebut abuse of power atau penyalah­gu­naan kekuasaan)

Tidak ada alasan bagi manusia melegal­kan pencurian karena kesulitan ekonomi. Ba­nyak orang bekerja dengan ikhlas tanpa melihat jenis pekerjaannya, tetap memberi makan keluarganya tanpa keluhan. Ada juga beberapa difabel atau keterbatasan fisik mampu bekerja tanpa meminta. Tidak adanya ilmu yang diperoleh tanpa belajar dan minim ilmu agama di tempat ibadah membuat para calon dan pelaku kejahatan tetap mengambil jalan instan (cepat) untuk memperkaya diri. Alasan lainnya adalah ma­las belajar sehingga tidak mampu be­kerja di saat perkembangan dan kemajuan glo­balisasi menuntut orang untuk bekerja secara profesional.

Benar, haram dimaknai dengan sesuatu yang tidak di­bolehkan atau dilarang, namun lebih dari itu, pemaknaan haram harus menghadirkan rasa hormat kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan kasih sayang. Perintah yang sudah ada dalam kitab yang diimani oleh orang yang beriman harus dijalankan. Begitu juga rasa menghormati diri sendiri secara naluri atau hati, tidak pantas untuk me­ngerjakannya. Adanya uang haram disebabkan adanya ketidak­cocokan jika dilakukan oleh manusia di saat Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta ma­nu­sia dari sumber yang suci. Semoga kita terhindar dari perolehan uang haram apalagi untuk keluarga kita. Amiin. ***

Penulis adalah Dosen UMSU

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengasuh rubrik Konsultasi ZIS Majalah Peduli yang saya hormati. Saya mohon penjelasan, apakah boleh kita bersedekah atau berzakat menggunakan uang haram ? Kalau boleh, apakah bisa uang haram disucikan agar bisa menjadi halal dan bisa disedekahkan? Sekian, dan terimakasih atas jawabannya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Misbahul Munir, Pasuruan, 08127845xxxx

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Misbahul Munir yang terhormat. Dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa Allah itu adalah Dzat yang baik, dan tidak menerima suatu ibadah atau suatu amaliah kecuali yang baik-baik saja. Karena itu, Allah tidak akan menerima sedekah atau zakat yang dibayarkan dengan dengan harta yang haram. Bahkan orang yang melakukan hal seperti ini, doa-doanya tidak akan diterima oleh Allah. Bahkan al-Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa ongkos pekerjaan yang berhubungan dengan maksiat itu pekerjaan haram adalah haram juga, dan mensedekahkannya juga tidak boleh dan tidak sah.

Al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab juga menukil pendapat dari al-Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki harta yang haram dan ingin bertaubat, maka jika pemilik harta tersebut masih hidup, wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau wakilnya, dan jika pemiliknya sudah meninggal dunia maka harta tersebut diberikan kepada ahli warisnya, dan jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hendaknya dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum, semisal untuk membangun masjid.

Berdasarkan uraian di atas, berarti diperbolehkan membangun masjid dengan harta yang dihasilkan dari pekerjaan yang haram, seperti harta yang dihasilkan dari penjualan minuman keras, dan hal tersebut dilakukan bukan dalam rangka sedekah, namun sebagai bentuk taubat seseorang yang memiliki harta haram.

Kesimpulannya, bahwa tidak sah sedakah atau zakat dari harta haram. Kemudian jika si pelaku yang memiliki harta haram itu ingin bertaubat, maka harta tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya atau wakilnya. Jika pemiliknya sudah wafat, maka serahkan pada ahli warisnya. Namun jika tidak ada, maka harta tersebut ditasarufkan pada kemashlahatan muslimin. Tasaruf ini tidak dikatakan sedekah, namun bentuk pembebasan diri dari harta haram tersebut. Selengkapnya, silakan merujuk pada kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (III/104), al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (9/351), dan Ihya’ ‘Ulumuddin (II/91). Wallahu a’lam bish-shawab.

Pertanyaan, “Aku mendapatkan keuntungan yang haram. Uang keuntungan tersebut lantas kubelikan sebuah mobil. Mobil tersebut sekarang kurentalkan dan aku mendapatkan keuntungan darinya. Keuntungan yang kudapatkan dari rental mobil tersebut haram ataukah halal?”

Jawaban, “Orang yang mendapatkan pendapatan yang harta yang haram itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

Pertama, didapatkan melalui transaksi yang haram semisal menjual barang yang haram diperdagangkan atau mendapatkan upah karena melakukan perbuatan yang haram semisal menyanyi atau memberikan persaksian palsu. Syarat taubat untuk orang yang mengalami kasus semacam ini adalah menyedekahkan semua uang tersebut dengan niat membebaskan diri dari uang yang haram bukan untuk mendapatkan pahala. Akan jika memang dia membutuhkan sebagian uang harta tersebut untuk investasi dalam bisnis yang halal untuk menopang kebutuhan kesehariannya maka mudah-mudahan itu tidak mengapa. Meski seandainya dia mampu untuk menyedekahkan semua harta haramnya maka itu yang lebih afdhol dan taubatnya bisa lebih sempurna.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika seorang itu mengadakan transaksi komersil yang haram dengan orang lain dan dia mendapatkan harta yang haram karenanya semisal harta yang didapatkan oleh pelacur, penyanyi, penjual khamr, saksi palsu dan semisalnya lantas orang tersebut bertaubat sedangkan harta yang haram itu masih ada di tangannya, apa yang harus dia lakukan dengan harta haram tersebut.

Sejumlah ulama mengatakan bahwa uang tersebut dikembalikan kepada pemilik awalnya. Alasan pendapat ini karena harta tersebut adalah harta yang haram dan dia tidak mendapatkannya dengan jalan yang diizinkan oleh syariah. Di samping pemilik awal harta tersebut tidaklah mendapatkan hal yang mubah sebagai kompensasi atas harta yang dia keluarkan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa bentuk taubat orang tersebut adalah dengan menyedekahkannya dan tidak boleh mengembalikannya kepada pemilik awal harta tersebut. Pendapat yang kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan itulah pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada dalam masalah ini.” [Madarijus Salikin, 1/389].

Ibnul Qayyim berpanjang lebar menjelaskan permasalahan ini di Zaadul Maad 5/778. Di sana beliau menegaskan bahwa cara membebaskan diri dari harta yang haram dan bukti taubat orang yang memegang harta haram adalah dengan “menyedekahkannya. Jika dia membutuhkan harta haram tersebut dia bisa mengambil sesuai dengan kadar kebutuhannya sedangkan sisanya disedekahkan”.

Kedua, harta haram tersebut didapatkan dengan cara mencuri atau merampas milik orang lain. Jika demikian, orang yang memegang harta haram ini wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemilik sebenarnya meski kejadian tersebut telah berlangsung lama. Sedangkan mengenai apakah keuntungan yang didapatkan dari harta haram semacam ini perlu ikut dikembalikan ataukah tidak, para pakar fikih bersilang pendapat tentangnya.

Para ulama bermazhab Hanbali berpendapat bahwa keuntungan tersebut juga turut dikembalikan.

Malikiyyah dan Syafiiyyah berpandangan bahwa keuntungan itu menjadi hak orang tersebut karena jika barang curian atau rampasan itu rusak maka perampas atau pencuri wajib menggantinya.

Abu Hanifah berpendapat bahwa keuntungan itu disedekahkan karena keuntungan ini didapatkan melalui cara yang tidak halal.

Ibnu Qudamah al Hanbali dalam al Mughni 5/159 mengatakan, “Jika seorang itu mengambil paksa uang milik orang lain lalu dia jadikan sebagai modal dagang atau mengambil paksa barang dagangan milik orang lain lalu dijual kemudian hasil penjualannya dijadikan sebagai modal bisnis, menurut para ulama mazhab Hanbali keuntungan bisnis tersebut adalah hak pemilik barang yang sebenarnya, demikian pula barang dagangan yang dibeli dari uang hasil merampas tersebut adalah hak pemilik yang sebenarnya. Syarif mengatakan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa keuntungan tersebut disedekahkan”.

Alkhatib as Syarbini asy Syafii mengatakan, “Jika perampas barang itu menjadikan barang hasil rampasannya sebagai modal bisnis maka keuntungan adalah milik itu milik perampas menurut pendapat yang paling kuat.” [Mughni al Muhtaj, 3/363]. Baca juga Mausuah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 22/84].

Sedangkan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini adalah perampas berhak mengambil hasil keuntungan bisnis sebesar prosentase yang selayaknya dan sepatutnya diterima oleh pelaku usaha ketika mengadakan kerja sama dagang dengan pemodal. Artinya hendaknya dia sikapi keuntungan bisnis tersebut sebagaimana layaknya bagi hasil yang diterima oleh pelaku usaha dalam transaksi mudharabah, boleh jadi setengah, sepertiga atau seperempat dari total keuntungan tergantung keumumannya di masyarakat setempat.

Syaikh Dr. Khalid Al-Musyaiqih mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Ada seorang yang mencuri mobil milik orang lain. Mobil tersebut lantas dia pergunakan untuk bisnis angkutan. Dari bisnis ini si pencuri mendapatkan sejumlah keuntungan. Setelah dia ditangkap aparat keamanan, hak siapa kah keuntungan bisnis tersebut? Hak pencuri ataukah pemilik mobil?”

Jawaban beliau, “Status kepemilikan keuntungan bisnis semacam ini diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang tepat adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berpendapat jika ada seorang yang mengambil paksa uang milik orang lain lantas uang tersebut dia jadikan sebagai modal bisnis maka dia berhak mendapatkan prosentase keuntungan yang umumnya diterima oleh pelaku usaha dalam transaksi mudharabah di masyarakatnya. Kita tanyakan kepada umumnya anggota masyarakat, bisnisman dan orang yang menguasai permasalahan ini jika jawabannya adalah dia berhak mendapatkan separo keuntungan maka diberikan kepadanya separo keuntungan. Jika jawabannya adalah dia berhak mendapatkan seperempat maka diberikan kepadanya seperempat keuntungan. Sedangkan sisanya adalah hak pemilik uang sebenarnya.

Sehingga pencuri yang membisniskan mobil curiannya berhak mendapatkan sebagian keuntungan sebagaimana umumnya hak pelaku usaha dalam transaksi mudharabah di masyarakatnya. Jika umumnya pelaku usaha dalam bisnis mobil umumnya mendapat bagian sebanyak separo atau seperempat dari total keuntungan maka itulah yang berhak dia ambil sedangkan sisanya diberikan kepada pemilik sesungguhnya.

Dalilnya adalah ketika ada anak Khalifah Umar bin al Khattab yang mengambil sebagian harta kas negara lalu Khalifah Umar meminta pendapat kepada para sahabat mengenai masalah ini maka diusulkan harta bisnis yang dilakukan oleh anak Khalifah Umar dengan harta kas negara tersebut distatuskan sebagai mudharabah [Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’ no 1396]”.

Referensi: http://islamqa.com/ar/ref/142235

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Membersihkan Harta dari yang Haram

Sedekah dengan Harta Haram

Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.

Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).

Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam, Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.

Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)

Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Contoh dari kaedah di atas:

Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)

Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna,

Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam.